Sebentar lagi adik saya akan menjadi sarjana S1. Saya
jadi teringat masa-masa awal lulus kuliah. Masa itu adalah periode yang
sarat dengan gengsi. Kami yang lulus bersama berlomba-lomba melamar ke
perusahaan bergengsi. Bagi yang mendapat panggilan kerja dari perusahaan
bonafid, tanpa berkata-kata, setiap gerak-geriknya seperti berkata ,
"Gue berhasil nih!" Dan gengsi ini pun terus terbawa hingga kini. Tidak
hanya melulu soal gaji, apa yang kita “punya” juga menjadi satu
indikator status sosial di masyarakat modern saat ini.
Namun apakah gaji yang besar menjamin bahwa kondisi keuangan seseorang itu sehat?
Saya
beberapa kali menemukan kondisi keuangan seseorang atau keluarga yang
kurang sehat. Gaji mereka seakan-akan selalu kurang dan hampir tidak
memiliki tabungan. Apakah mereka orang yang bergaji hanya sedikit di
atas UMP? Bukan. Kebanyakan dari kelompok ini justru adalah orang-orang
yang memiliki akses sangat baik ke lembaga keuangan. Sayangnya kemudahan
akses tersebut seringkali disalahgunakan. Mereka menganggap fasilitas
seperti kartu kredit adalah “dana tambahan”, bukannya sekadar alat bantu
pembayaran. Jika watak ini dikombinasikan dengan sifat konsumtif yang
tinggi, fasilitas tadi mampu membenamkam seseorang ke dalam kolam utang.